Tentang Perjalanan

Sebuah pepatah mengatakan kehidupan ini layaknya sebuah roda. Ada kalanya kita berada di atas, ada pula saat kita berada di bawah. Namun, tak ada titik dari roda itu yang selamanya di bawah dan selamanya di atas. Ini berarti kehidupan manusia, mau ada di atas atau di bawah, tergantung pada manusia itu sendiri. Dari sinilah tulisan ini akan bercerita, tentang perjalanan seorang anak perempuan yang menginjakkan kakinya pertama kali di Jakarta untuk cita-citanya.

Berawal dari masa-masa akhir SMA dengan segala ujian yang tiada habisnya hingga sampai pada titik dimana ia harus memilih jalan untuk masa depannya. Sederet proses pendaftaran perguruan tinggi yang tersedia dilalui satu per satu. Konsultasi sana-sini, diskusi kesana kemari, meminta saran dari orang-orang yang dirasa mengerti tak luput ia lalui. Sebelumnya, teguh hatinya mantap ingin kuliah di Surabaya. Tak terbersit sekalipun keinginan untuk menempuh pendidikan di kota sebesar Jakarta karena menyadari kemampuan diri dan ekonomi yang tak mungkin dipaksakan. Surabaya jadi kota impian, beragam perjuangan pun ditempuh untuk dapat masuk ke Kampus Perjuangan, julukannya. Hingga pada akhirnya ia tau, sebuah sekolah tinggi kedinasan yang cukup menjanjikan dan sesuai dengan apa yang diminati, setelah sebelumnya undur diri memimpikan kedinasan lain akibat sadar diri akan keterbatasan fisik yang dimiliki.

Proses. SNMPTN dilalui, PMDK-PN diikuti, seleksi panselnas pun ia mendaftarkan diri. Penolakan pertama ia terima dari proses PMDK-PN. Tak terlalu berasa, karena memang sebenarnya bukan tujuan utama. Hari demi hari ia lalui, sambil terus berdoa namanya akan muncul saat pengumuman SNMPTN dengan keterangan diterima di Kampus Perjuangan. Namun, manusia hanya bisa berusaha, Tuhan yang lebih tau mana yang terbaik untuk umat-Nya. Ketika pengumuman keluar, ia tak berani membuka, didukung server yang down saking banyaknya pengakses, hingga akhirnya ‘joki’ kelasnya yang membuka. Bukan Kampus Perjuangan yang didapat, namun kampus tetangga. Pada titik itu, entah ia harus merasa sedih atau bahagia. Bahagia, karena perjuangannya telah berhenti disini, sedangkan teman-temannya masih harus memikirkan beragam cara untuk mendapat kampus lewat SBMPTN dan beragam ujian mandiri. Sedih, karena bukan kampus impian yang tercapai, melainkan kampus negeri yang sama-sama ada di Surabaya. Berada di titik itu bukanlah hal yang mudah. Ketika bertemu teman-teman, sederet ucapan kagum dan selamat yang kau terima, namun sebenarnya hati masih belum menempati bahagia yang sesungguhnya. Sebuah diskusi dengan rekan seperjuangan semakin membawanya pada kegalauan luar biasa. Sampai pada akhirnya ia meminta sang Ayah untuk mengizinkannya ikut SBMPTN demi egonya yang masih menginginkan Kampus Perjuangan. Ayahnya memang tipikal orang yang keras dalam mendidik anaknya, namun diiringi dengan segala pertimbangan agar sang anak mampu berpikir dengan logika dan tak melulu mengedepankan ego semata. Percakapan antara ayah dan anak yang mengalir diiringi air mata membawanya pada keputusan untuk mengikhlaskan Kampus Perjuangan. 6 Mei 2017, seleksi PTK pertama ia jalani. Berangkat dengan minim persiapan dan bisa dibilang yang paling nekat bersama sekitar 15 orang temannya. Modalnya hanya fotocopy buku USM yang dipinjam dari temannya seminggu sebelumnya. Ia masih berada di bayang-bayang gagal mendapatkan Kampus Perjuangan, sehingga semangatnya masih tak tentu arah. Sebulan menanti pengumuman, alhamdulillah ia bersama 7 orang temannya berhasil memasuki tahap kedua. Perjuangan berlanjut, hasil yang didapat juga memuaskan, namun kesedihan tak bisa dilupakan ketika teman yang selama ini memodalinya ikut seleksi dengan pinjaman bukunya tak lolos seleksi. Perjalanan masih harus berlanjut kawan, apapun yang terjadi. Seleksi tahap 3 dilalui dengan penuh percaya diri. Hasilnya baik dan masuk ke tahap 4, tahap akhir yang paling dekat. Setelah tahap 4 selesai, gilirannya mengikuti ospek di kampus tempat ia diterima. Semua ikhlas dijalani sampai pada akhirnya 26 Agustus 2017 ia menerima kabar gembira. Namanya tertera sebagai mahasiswa yang diterima sebagai angkatan ke-59. Tangis gagalnya mendapat Kampus Perjuangan terbayar lunas dengan tangis bahagianya diterima di PTK ini.

Segala proses pengunduran diri dari kampus lama telah diurus, meskipun ia baru seminggu masuk kuliah. Sehari setelah Idul Adha, berangkatlah ia ke Jakarta bersama 3 orang temannya. Langkah terberat yang harus diambil ketika kamu meninggalkan rumah pertama kalinya untuk jangka waktu yang ia tak tahu berapa lama. Sampai di Jakarta, segala keperluan kampus ia penuhi dengan senang hati, hingga sang ibu menyusul ke Jakarta untuk menghadiri sebuah kuliah umum. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki ke Jakarta dan ia berhasil membawa sang ibunda ke Jakarta untuk pertama kalinya pula. Proses pertama yang harus dilalui sebagai mahasiswa baru tentu saja sama bagi semua perguruan tinggi, namun konsep pengemasannya yang berbeda. MP2K dan Bela Negara ia lalui. Saat-saat terberat ketika ia harus bergulat dengan lelahnya merasakan rindu rumah. ‘Homesick’ kalau orang bilang. Namun, ayahnya telah mendidiknya menjadi anak perempuan yang tangguh yang siap menghadapi situasi apapun dimanapun.

Perjalanannya telah sampai disini. Menemukan kehidupan yang berbeda, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan menemukan teman-teman baru yang sudah terasa seperti keluarga kedua. Komunikasi dengan kedua orang tua yang jadi pengobat rindu di sela-sela lelahnya ia menghadapi perkuliahan. Ia tak tahu, akan ada berapa momen yang dilewatkan bersama keluarga. Ia tak tahu akan ada berapa banyak perubahan yang ia tidak tahu tentang lingkungan rumahnya. Kakinya telah melangkah, meniti sebuah perjalanan yang masih menjadi rahasia-Nya. Entah akan ada berapa banyak batu kerikil di depan sana, namun ia percaya restu kedua orangtuanya akan selalu ada bersamanya.


Sebuah perjalanan mengajarkannya tentang arti kehidupan. Masih banyak yang harus ia lalui untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan gadis perempuan itu, aku. 

Komentar

Postingan Populer